Pages

Labels

Labels

Powered by Blogger.

Monday 2 March 2015

CERITAKU

KISAH BIJAK MAHADENAMUTTA
 
Pada suatu hari, Mahadenamutta berjalan-jalan keluar-masuk kampung. Tanpa disadari, ia masuk ke sebuah kampung
yang masyarakatnya dungu semua. Mahadenamutta menghentikan langkahnya ketika ia melihat seseorang sedang
memotong dahan pohon.
Orang tersebut berada di atas pohon, duduk di dahan yang sedang ia potong dengan goloknya. Sementara itu, anak dan
istrinya menunggu di bawah pohon.

“Tuan, hentikan memotong dahan itu. Kamu nanti akan jatuh!” Mahadenamutta mengingatkan orang yang sedang
memotong dahan itu.

“Ah, Pak Tua sok tahu!” jawab orang itu dengan ketus.
Dan tak lama kemudian terdengar suara berdebum. Orang yang memotong dahan tadi jatuh bersamaan dengan dahan yang
ia potong.

“Kamu harusnya duduk di pangkal dahan, bukan duduk di dahan yang kamu potong!” kata Mahadenamutta sambil
menolong orang itu berdiri.

“Pak Tua ternyata orang sakti,” kata orang yang memotong dahan. Ucapan itu didengar oleh anak istrinya, dan juga
tetangga yang mulai berkumpul setelah mendengar ada benda jatuh. Sontak, kabar kedatangan Pak Tua yang sakti ke
kampung mereka segera tersebar.

Di sudut kampung, terjadi sebuah insiden ada seekor kambing kepalanya masuk ke dalam periuk. Kambing tersebut
bermaksud minum air yang ada di dalam periuk tersebut, namun begitu kepalanya masuk, ia tak dapat mengeluarkan
kepalanya. Semua orang yang mengetahui insiden tersebut kebingungan, bagaimana cara melepaskan kepala kambing
dari periuk itu. Sementara si pemilik kambing dan si pemilik periuk bertengkar mempertahankan masing-masing barang
miliknya. Seseorang mengajukan usul, supaya mengadukan ke Pak Tua sakti yang kebetulan sedang berada di kampung
mereka.

“Pak Tua tolonglah kami yang sedang mendapatkan musibah berat…,” pemilik kambing dan pemilik periuk pun
menceritakan insiden yang terjadi. “Jadi, bagaimana cara melepaskan kepala kambing saya?”
Mahadenamutta terdiam sejenak. "potong saja leher kambingnya!” kata Mahadenamutta mantap.
Tanpa ragu ahirnya mereka memotong leher kambing itu, dan benar saja periuk itu terlepas dari tubuh kambing.

“Horeee!!!!!” Semua yang hadir bersorak gembira. Apa yang dikatakan Pak Tua ternyata betul.
Di tengah sorak-sorai tersebut, pemilik kambing dan pemlilik periuk tertegun karena melihat kepala kambing masih
ada di dalam periuk itu.

“Pak Tua, lantas bagaimana cara mengeluarkan kepala kambing dari dalam periuk ini?” tanya mereka.
“Pecahkan periuknya!” kata Mahadenamutta.
Mereka mengambil batu lalu memecahkan periuk itu. Prakk..!! Kepala kambing menggelinding ke tanah.

"Sungguh bijaksana sekali orang tua  itu" kata nya sambil memandang Mahadenamutta yang perlahan-lahan pergi
meninggalkan mereka.

-----------------------------------
Terkadang kita harus bersikap bijak dalam mengambil suatu keputusan tanpa memandang apapun itu. Sehingga keputusan
itu dianggap adil tanpa memberatkan satu sama lain.

SAYAP YANG KERDIL
 
    Ini adalah kisah yang dialami oleh sebuah keluarga burung. Si induk menetaskan beberapa telor menjadi burung-burung
kecil yang indah dan sehat. Si induk pun sangat bahagia dan merawat mereka semua dengan penuh kasih sayang. Hari
berganti hari, bulan berganti bulan. Burung-burung kecil ini pun mulai dapat bergerak lincah. Mereka mulai belajar
mengepakkan sayap, mencari-cari makanan untuk kemudian mematuknya.

Dari beberapa anak burung ini tampaklah seekor burung kecil yang berbeda dengan saudaranya yang lain. Ia tampak
pendiam dan tidak selincah saudara-saudaranya. Ketika saudara-saudaranya belajar terbang, ia memilih diam di sarang
daripada lelah dan terjatuh, ketika saudara-saudaranya berkejaran mencari makan, ia memilih diam dan menantikan belas
kasihan saudaranya. Demikian hal ini terjadi seterusnya.

Saat sang induk mulai menjadi tua dan tak sanggup lagi berjuang untuk menghidupi anak-anaknya, si anak burung ini
mulai merasa sedih. Seringkali ia melihat dari bawah saudara-saudaranya terbang tinggi di langit. Ketika saudara-
saudarnya dengan lincah berpindah dari dahan satu ke dahan yang lain di pohon yang tinggi, ia harus puas hanya
dengan berada di satu dahan yang rendah. Ia pun merasa sangat sedih. Dalam kesedihannya, ia menemui induknya
yang sudah tua dan berkata, “Ibu, aku merasa sangat sedih, mengapa aku tak bisa terbang setinggi saudara-saudaraku
yang lain, mengapa akau tak bisa melompat-lompat di dahan yang tinggi aku hanya bisa berdiam di dahan yang rendah?”

Si induk pun merasa sedih dan dengan air mata ia berkata, “Anakku, engkau dilahirkan dengan sayap yang sempurna
seperti saudaramu, tapi engkau memilih merangkak menjalani hidup ini sehingga sayapmu menjadi kerdil.”

-------------------------------------------

Hidup adalah kumpulan dari setiap pilihan yang kita buat. Pilihan kita hari ini menentukan bagaimana hidup kita di masa
depan. Kita memiliki kebebasan memilih tetapi setelah itu kita akan dikendalikan oleh pilihan kita, jadi berpikirlah sebelum
berbuat, sadari setiap konsekuensi dari pilihan yang kita buat sendiri.

MEJA KAYU
 
     Suatu ketika, ada seorang kakek yang harus tinggal dengan anaknya. Selain itu, tinggal pula menantu, dan anak mereka
yang berusia 6 tahun. Tangan orangtua ini begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannya buram, dan
cara berjalannya pun ringkih. Keluarga itu biasa makan bersama di ruang makan. Namun, sang orangtua yang pikun ini
sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap
makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke bawah. Saat si kakek meraih gelas, segera saja susu itu tumpah membasahi
taplak.Anak dan menantunya pun menjadi gusar. Mereka merasa direpotkan dengan semua ini.

“Kita harus lakukan sesuatu, ” ujar sang suami. “Aku sudah bosan membereskan semuanya untuk pak tua ini.”

Lalu, kedua suami-istri ini pun membuatkan sebuah meja kecil di sudut ruangan. Disana, sang kakek akan duduk untuk
makan sendirian, saat semuanya menyantap makanan. Karena sering memecahkan piring, keduanya juga memberikan
mangkuk kayu untuk si kakek. Sering, saat keluarga itu sibuk dengan makan malam mereka, terdengar isak sedih dari
sudut ruangan. Ada air mata yang tampak mengalir dari gurat keriput si kakek. Namun, kata yang keluar dari suami-istri
ini selalu omelan agar ia tak menjatuhkan makanan lagi. Anak mereka yang berusia 6 tahun memandangi semua dalam
diam.

Suatu malam, sebelum tidur, sang ayah memperhatikan anaknya yang sedang memainkan mainan kayu. Dengan lembut
ditanyalah anak itu.

“Kamu sedang membuat apa?”.

Si Anak menjawab, “Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu untuk makan saat aku besar nanti. Nanti, akan
kuletakkan di sudut itu, dekat tempat kakek biasa makan.” Jawab sang Anak melanjutkan pekerjaannya.

Jawaban itu membuat kedua orang tuanya begitu sedih dan terpukul. Mereka tak mampu berkata-kata lagi. Lalu, air mata
pun mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada kata-kata yang terucap, kedua orang tua ini mengerti, ada
sesuatu yang harus diperbaiki. Malam itu, mereka menuntun tangan si kakek untuk kembali makan bersama di meja
makan. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda. Kini,
mereka bisa makan bersama lagi di meja utama.

Malam itu mereka mendapat pelajaran yg sangat berharga dari sang anak. Kejadian itu membuat mereka sadar bahwa suatu
hari kelak mereka akan tua dan renta, dan mereka akan mengalami hal yg sama. Menyulitkan bagi anak2 mereka kelak.


TAHTA UNTUK SANG PUTERI
 
     Seorang ayah, kebetulan pengusaha kaya multi-usaha, menghadapi soal yang amat pelik. Siapakah yang harus
dipilihnya menjadi President dan CEO menggantikan dirinya memimpin kerajaan bisnisnya yang sudah dibangun susah
payah lebih dari setengah abad? Kini usianya sudah berkepala tujuh dan penyakit-penyakit tua sudah mulai menggerogoti
dirinya. Ia tahu sebentar lagi dirinya akan mengikuti jejak nenek-moyangnya menuju lorong hidup manusia fana.

Anaknya tiga orang.

Si sulung amat cerdas, meraih MSc. dan MBA luar negeri, ia berselera canggih, senang glamour, ambisius, dan punya
pergaulan yang luas di kalangan jet set. Cuma si ayah cukup khawatir karena si sulung ini punya bakat bercumbu dengan
bahaya seperti (konon) keluarga Kennedy. Naluri judinya gede, dan niat curangnya pun cukup kuat. Singkatnya, ia cerdas,
kreatif, namun lihai dan licin.

Si tengah, lebih hebat lagi. Bergelar PhD. bidang kimia dari universitas beken di Amerika, ia lulus dengan predikat magna
cumlaude. Papernya bertebaran di jurnal-jurnal internasional. Bangga sekali hati si ayah yang cuma lulus SMP zaman
Jepang. Dia dosen dan peneliti. Dan di perusahaan ayahnya dia menjabat sebagai Direktur Riset dan Pengembangan.
Tetapi menjadi CEO, ia terlalu akademis. Kurang cocok dengan bisnis mereka yang kini berspektrum sangat lebar.

Si bungsu, satu-satunya perempuan, cuma lulus S1 dalam negeri. Meskipun sejak lima tahun terakhir ia bergabung dengan
usaha ayahnya sebagai Direktur Grup Konsumer, tetapi ia memulai karirnya di perusahaan asing sebagai wiraniaga
(marketing executive). Ia merangkak dari bawah hingga 15 tahun kemudian bisa mencapai posisi General Manager.
Otaknya kalah brilian dibanding kedua kakaknya. Meskipun cenderung hemat berkata-kata, namun ia menunjukkan
bakat memimpin yang baik. Ia mampu mendengar dengan intens. Berbagai pendapat dan gagasan bisa diolahnya dengan
dalam. Gaya hidupnya biasa saja. Ia disenangi sekaligus disegani orang karena sikapnya yang fair, jujur, dan mampu
merakyat dengan para bawahannya.

Masalah ini menjadi pelik, karena menurut adat-istiadat, si sulunglah pewaris tahta. Dan, ia sangat berambisi untuk itu.
Sedang si bungsu, selain paling buncit, perempuan lagi. Jadi ia kalah status, gelar dan gender. Bagaimana jalan keluarnya?
Konsultan angkat tangan. Rujukan buku teks tidak ada. Si orang tua itu akhirnya hanya bisa mengandalkan wibawa dan
hikmatnya sebagai ayah. Lalu dipanggilnya ketiga anaknya. Dibentangkannya persoalan secara gamblang.Diuraikannya
plus-minus setiap anaknya. Dianalisisnya kemungkinan sukses masing-masing memimpin grup usaha itu menuju
milenium ketiga. Dialog pun dimulai. Dan si Ayah segera maklum, dead lock akan terjadi.

"Sudahlah, aku akan memutuskan sendiri siapa penggantiku," kata orangtua itu akhirnya. Ketiganya takzim menurut.
Seminggu kemudian, si ayah datang dengan sebuah ujian."Barangsiapa bisa mengisi ruang ini sepenuh-penuhnya,
maka dialah penggantiku," katanya sambil menunjuk ruang rapat yang cuma terisi empat kursi dan sebuah meja bundar.
"Budget maksimum Rp1 juta," tambahnya lagi.

Kesempatan pertama jatuh pada si sulung. Enteng, pikirnya. Besoknya, dipenuhinya ruangan itu dengan cacahan kertas
berkarung-karung. Dan memang ruangan itu menjadi padat.
"Bagus, besok giliranmu," kata si ayah kepada anak keduanya.

Duapuluh empat jam kemudian, ruangan itu pun dipenuhinya dengan butiran styro- foam yang diperolehnya dengan
menghancurkan bekas-bekas packaging.
"Oke, besok giliranmu," kata sang Ayah menunjuk putrinya. Esoknya, ketika acara inspeksi dimulai, ternyata ruangan
masih kosong."Lho, kok kosong?" tanya ketiganya hampir serempak. Sang putri diam saja. Dimatikannya saklar lampu.
Dari sakunya dia keluarkan sebatang lilin. Ditaruhnya di atas meja. Lalu disulutnya dengan sebatang korek api.

"Lihat, ruangan ini penuh dengan terang. Silahkan dinilai, apakah ada celah kosong yg tak tersinari," katanya kalem.

Sang Ayah hanya berdecak kagum melihat kecerdasan putrinya. Dan ahirnya ia menunjuk sang putri sebagai pewaris
perusahaannya.
PEMENANG KEHIDUPAN
 
     Suatu hari, dua orang sahabat menghampiri sebuah lapak untuk membeli buku dan majalah. Penjualnya ternyata
melayani dengan buruk. Mukanya pun cemberut. Orang pertama jelas jengkel menerima layanan seperti itu. Yang
mengherankan, orang kedua tetap enjoy, bahkan bersikap sopan kepada penjual itu. Lantas orang pertama itu bertanya
kepada sahabatnya,

“Hei. Kenapa kamu bersikap sopan kepada penjual yang menyebalkan itu?”

Sahabatnya menjawab, “Lho, kenapa aku harus mengizinkan dia menentukan caraku dalam bertindak? Kitalah sang
penentu atas kehidupan kita, bukan orang lain.”

“Tapi dia melayani kita dengan buruk sekali,” bantah orang pertama. Ia masih merasa jengkel.

“Ya, itu masalah dia. Dia mau bad mood, tidak sopan, melayani dengan buruk, dan lainnya, toh itu nggak ada kaitannya
dengan kita. Kalau kita sampai terpengaruh, berarti kita membiarkan dia mengatur dan mempengaruhi hidup kita.
Padahal kitalah yang bertanggung jawab atas diri sendiri.”

-------------------------------

Sahabat... Tindakan kita kerap dipengaruhi oleh tindakan orang lain kepada kita. Kalau mereka melakukan hal yang buruk,
kita akan membalasnya dengan hal yang lebih buruk lagi. Kalau mereka tidak sopan, kita akan lebih tidak sopan lagi. Kalau
orang lain pelit terhadap kita, kita yang semula pemurah tiba-tiba jadi sedemikian pelit kalau harus berurusan dengan
orang itu. Coba renungkan, Mengapa tindakan kita harus dipengaruhi oleh orang lain? Mengapa untuk berbuat baik saja,
kita harus menunggu diperlakukan dengan baik oleh orang lain dulu? Jaga suasana hati. Jangan biarkan sikap buruk
orang lain kepada kita menentukan cara kita bertindak! Pilih untuk tetap berbuat baik, sekalipun menerima hal yang tidak
baik.


"PEMENANG KEHIDUPAN adalah orang yang tetap sejuk di tempat yang panas, tetap manis di tempat yang sangat pahit,
tetap merasa kecil meskipun telah menjadi besar, serta tetap tenang di tengah badai yang paling hebat."

PAKAIAN KEBAHAGIAAN
 
     Suatu ketika, tersebutlah seorang raja yang kaya raya. Kekayaannya sangat melimpah. Emas, permata, berlian, dan
semua batu berharga telah menjadi miliknya. Tanah kekuasaannya, meluas hingga sejauh mata memandang. Puluhan
istana, dan ratusan pelayan siap menjadi hambanya. Karena ia memerintah dengan tangan besi, apapun yang
diinginkannya hampir selalu diraihnya. Namun, semua itu tak membuatnya merasa cukup. Ia selalu merasa kekurangan.
Tidurnya tak nyenyak, hatinya selalu merasa tak bahagia. Hidupnya, dirasa sangatlah menyedihkan. Suatu hari,
dipanggillah salah seorang prajurit terbaiknya. Sang Raja lalu berkata,

“Aku telah punya banyak harta. Namun, aku tak pernah merasa bahagia. Karena itu, aku akan memerintahkanmu untuk
memenuhi keinginanku. Pergilah kau ke seluruh penjuru negeri, dari pelosok ke pelosok, dan temukan orang yang paling
berbahagia di negeri ini. Lalu, bawakan pakaiannya kepadaku. Carilah hingga ujung-ujung cakrawala dan buana. Jika aku
bisa mendapatkan pakaian itu, tentu aku akan dapat merasa bahagia setiap hari. Aku tentu akan dapat membahagiakan
diriku dengan pakaian itu. Temukan sampai dapat..!! Dan aku tidak mau kau kembali tanpa pakaian itu. Atau, kepalamu
akan kupenggal...!! perintah sang Raja kepada prajuritnya.

Mendengar titah sang Raja, prajurit itupun segera beranjak. Disiapkannya ratusan pasukan untuk menunaikan tugas.
Berangkatlah mereka mencari benda itu. Mereka pergi selama berbulan-bulan, menyusuri setiap penjuru negeri. Seluas
cakrawala, hingga ke ujung-ujung buana, seperti perintah Raja. Di telitinya setiap kampung dan desa, untuk mencari orang
yang paling berbahagia, dan mengambil pakaiannya. Sang Raja pun mulai tak sabar menunggu. Dia terus menunggu, dan
menunggu hingga jemu. Akhirnya, setelah berbulan-bulan pencarian, prajurit itu kembali. Ah, dia berjalan tertunduk,
merangkak dengan tangan dan kaki di lantai, tampak seperti sedang memohon ampun pada Raja. Amarah Sang Raja mulai
muncul, saat prajurit itu datang dengan tangan hampa.

“Kemari cepat!!. “Kau punya waktu 10 hitungan sebelum kepalamu di penggal. Jelaskan padaku mengapa kau melanggar
perintahku. Mana pakaian kebahagiaan itu!”

Gurat-gurat kemarahan sang raja tampak memuncak. Dengan airmata berlinang, dan badan bergetar, perlahan prajurit itu
mulai angkat bicara.

“Duli tuanku, aku telah memenuhi perintahmu. Aku telah menyusuri penjuru negeri, seluas cakrawala, hingga ke ujung-
ujung buana, untuk mencari orang yang paling berbahagia. Akupun telah berhasil menemukannya."

Kemudian, sang Raja kembali bertanya, “Lalu, mengapa tak kau bawa pakaian kebahagiaan yang dimilikinya?"

Prajurit itu menjawab, “Ampun beribu ampun, duli tuanku, orang yang paling berbahagia itu, TIDAK mempunyai pakaian
yang bernama kebahagiaan.”

----------------------------

Bisa jadi, memang tak ada pakaian yang bernama kebahagiaan. Sebab, kebahagiaan seringkali memang tak membutuhkan
apapun, kecuali perasaan itu sendiri. Rasa itu hadir, dalam bentuk-bentuk yang sederhana, dan dalam wujud-wujud yang
bersahaja. Seringkali memang, kebahagiaan tak di temukan dalam gemerlap harta dan permata. Seringkali memang,
kebahagiaan, tak hadir dalam indahnya istana-istana megah. Dan, kebahagiaan seringkali memang tak selalu ada pada
besarnya penghasilan kita, mewahnya rumah kita, gemerlap lampu kristal yang kita miliki, dan indahnya jalinan sutra yang
kita sandang. Seringkali malah, kebahagiaan hadir pada kesederhanaan, pada kebersahajaan. Seringkali rasa itu muncul
pada rumah-rumah kecil yang orang-orang di dalamnya mau mensyukuri keberadaan rumah itu. Seringkali, kebahagiaan
itu hadir pada jalin-jemalin syukur yang tak henti terpanjatkan pada Tuhan.Sebab, kebahagiaan itu memang adanya di hati,
di dalam kalbu ini. Kebahagiaan, tak berada jauh dari kita, asalkan kita mau menjumpainya. Ya... asalkan kita mau
mensyukuri apa yang kita punyai, dan apa yang kita miliki.

KISAH WAK HAJI DAN WAK MODIN
 
     Dia biasa dipanggil Wak haji oleh warga setempat. Wak haji termasuk orang yang paling kaya di desa itu tapi juga
terkenal paling kikir. Usianya sekitar 70an, semenjak 10 th yg lalu ditingggal oleh Sang istri, Wak haji hanya hidup sendiri
dan tidak mempunyai seorang anak. Aku sendiri merasa heran, kenapa orang seperti Wak haji yg usianya sudah menjelang
senja itu sangat pelit, padahal hartanya banyak, bahkan seorang anak pun ia tak punya. Dalam batinku selalu bertanya,
dengan harta yang segitu banyak nya itu, mau dibawah kemana? Jangankan untuk beramal, Warga yg kesusahan mau
pinjam uang pun tak pernah dikasih. Dan setiap orang yg butuh mau pinjam uang, dia selalu bilang tak punya, alasan ini
lah - itu lah, bukannya ngasih malah menyuruh orang-orang pinjam ke Wak Modin. Setiap kali diminta sumbangan dana
untuk pembangunan masjid atau untuk keperluan Desa, yg keluar hanya lembaran seribu. Sumpah.. orang seperti ini
kenapa gak mati terkubur dengan hartanya saja. Semua penduduk desa itu banyak yg tak suka dengan Wak haji. Semua
orang mencibir jika berpapasan dengannya dijalan. Tapi Wajah tua yg bersahaja itu tetap tersenyum ramah menunjukkan
wajah tua yg bijaksana.

Berbeda dengan Wak modin yg sehari-harinya hanya hidup dengan kesederhanaan, hidupnya pas-pasan, bisa dibilang
orang miskinlah, tapi terkenal sangat dermawan. Ia suka membantu warga yg kesulitan. Aku benar-benar kagum sama
orang yg satu ini. Andaikan Mario teguh tahu, pasti kata-kata nya "SUPER SEKALI" yg fenomenal itu akan di buangnya
jauh-jauh ke laut selatan biar dimakan sama ikan hiu dan akan digantinya dengan "SANGAT SUPER LUAR BIASA dan tak
hanya sekali". Bagaimana tidak, jika dilihat dari keseharian dari Wak modin yg sangat bersahaja itu, ia terkenal dermawan,
bahkan sering kali warga yg tak bisa bayar hutang karena tak mampuh, ia tak pernah memintanya. Malah dengan segala
kerendahan hatinya ia menyarankan jika warga yg bener-bener tak mampuh butuh uang, jangan segan-segan datang
kerumahnya. Aku sempat mengira kalau Wak modin ini pelihara Tuyul. Coba bayangkan, dalam keseharian ia sangat
pas-pasan, tapi sangat royal sama uang. Setiap ada penarikan dana bantuan untuk keperluan desa, ia tak pernah
perhitungan untuk mengeluarkan duit. Tapi yg membuat aku heran lagi, kenapa hubungan antara kedua orang ini sangat
akrab. Hampir seluruh warga ini tak suka sama Wak haji, tapi kenapa Wak modin ini sangat hormat padanya?.. aneh. Ah..
masa bodoh dengan Wak Haji, salut untuk kepribadianmu Wak Modin yg tak pernah pandang bulu dalam bermasyarakat.

Sebulan kemudian setelah sepeninggal Wak Haji, sepertinya perlahan-lahan terjadi banyak perubahan dalam diri
Wak Modin. Dulu ia yg terkenal sangat dermawan suka membantu warga yg kesulitan, kini ia mulai agak pelit. Setiap
ditarik iuran atau sumbangan ruwetnya minta ampun, Huft.. sepertinya Mario teguh menyesal pernah mengganti
kata-katanya yg fenomenal itu. Kini Wak Modin mulai jadi bahan pembicaraan orang-orang.

Pada hari itu setelah sholat jum'at usai, Wak modin yg biasa menjadi imam dimasjid itu berdiri dihadapan para jama'ah.
Ia meminta maaf kepada semua warga, untuk saat ini ia sudah tak bisa memberikan apa yg dibutuhkan oleh warga yg
serba kekurangan. Dan satu hal yg membuat semua jama'ah jum'at terkejut adalah pengakuan dari Wak Modin, bahwa
selama ini harta yg dia berikan untuk keperluan desa dan untuk membantu semua warga yg membutuhkan adalah harta
dari Wak Haji. Bahwa selama ini Wak haji melarangnya untuk memberi tahu kepada siapa pun kalau semua itu adalah
pemberian darinya. Bahkan diakhir hayatnya Wak haji sempat berpesan kepada Wak modin untuk tetap merahasiakannya,
Namun pada akhirnya Wak Modin sendiri tak bisa selamanya menutupi akan hal itu. Dan pada hari itu juga Wak Modin
memberikan semua harta yg telah diwakafkan Wak Haji kepada warga yg tak mampuh dan untuk keperluan Desa.

---------------------------
Sebuah prilaku yg patut dijadikan tauladan. Seperti pepatah "Tangan kanan memberi, tangan kiri tak mengetahui".
Sebuah keihklasan tanpa pamrih, meskipun mendapat cemo'ohan, cibiran dari banyak orang, tapi dalam hati tetap
tersenyum bangga karena sudah memberikan yg terbaik buat sesama meskipun tanpa harus dihargai. Kita menyadari
bahwa penghargaan dari Tuhan adalah yg terbaik melebihi segalanya dari hanya sekedar sanjungan antar sesama.
Biarkan Tuhan yg menilai, Kebaikan yg tersembunyi bagaimanapun akan tetap terlihat meski tanpa harus dihargai.

Sumber: http://ceritanilaikehidupan.blogspot.com/

0 comments:

Post a Comment

 

Blogger news

Blogroll

Flag Counter
animasi blog

About